Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Memaknai Konsep Hukum Syariah Dalam Islam

Jumat, 14 Maret 2025 20:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ulama NU
Iklan

KH. Idham Khalid memiliki pandangan yang moderat dan kontekstual terhadap penerapan hukum Islam.

Mengenang Kembali Hadratu Kyai Idham Khalid

Syariah sebagai konsep hukum dalam Islam memiliki kedalaman makna yang melampaui sekadar seperangkat aturan legal-formal. Ia merupakan manifestasi dari kehendak Ilahi yang bertujuan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari ibadah ritual hingga interaksi sosial. Dalam konteks Indonesia, pemahaman terhadap konsep syariah telah mengalami dinamika dan perkembangan yang signifikan, salah satunya berkat pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh seperti KH. Idham Khalid, seorang ulama dan negarawan yang memberikan kontribusi besar dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan semangat kebangsaan.

KH. Idham Khalid, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada periode 1956-1984, memiliki pandangan yang moderat dan kontekstual terhadap penerapan hukum Islam. Beliau memahami syariah bukan sekadar seperangkat hukum yang kaku, melainkan sebuah sistem nilai yang dinamis dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Menurut Idham Khalid, syariah haruslah dipahami dengan pendekatan yang komprehensif, dengan mempertimbangkan aspek maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariah) yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Rahman, 2017).

Salah satu kontribusi penting KH. Idham Khalid adalah upayanya untuk mendamaikan antara Islam dan nasionalisme. Dalam pandangannya, penerapan nilai-nilai syariah di Indonesia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kebangsaan yang menjadi landasan negara. Sebaliknya, syariah justru dapat memperkaya dan memperkuat fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran ini sejalan dengan prinsip fiqh siyasah yang mengutamakan kemaslahatan umum (maslahah 'ammah) sebagai tujuan akhir dari penerapan hukum Islam (Azra, 2015).

Dalam memahami konsep syariah, KH. Idham Khalid memperkenalkan pendekatan yang mengutamakan fleksibilitas dan adaptabilitas. Beliau membedakan antara aspek-aspek yang tetap (tsawabit) dan aspek-aspek yang dapat berubah (mutaghayyirat) dalam hukum Islam. Aspek-aspek yang tetap meliputi prinsip-prinsip dasar keimanan dan ibadah ritual, sementara aspek-aspek yang dapat berubah mencakup metode dan pendekatan dalam implementasi hukum Islam yang dapat disesuaikan dengan konteks sosial-budaya masyarakat (Feillard, 2012).

Pandangan KH. Idham Khalid tentang syariah juga menekankan pentingnya ijtihad (penalaran) dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer. Beliau mendorong para ulama untuk tidak terjebak dalam taqlid (mengikuti pendapat ulama terdahulu secara membabi buta), tetapi untuk mengembangkan pemikiran yang kreatif dan inovatif dalam merespons tantangan zaman. Ini tercermin dalam keterbukaan beliau terhadap metode-metode baru dalam istinbath al-ahkam (penggalian hukum), seperti penggunaan qiyas (analogi), istihsan (preferensi yuridis), dan maslahah mursalah (pertimbangan kepentingan umum) (Nasution, 2019).

Dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia, KH. Idham Khalid mempromosikan konsep fiqh al-ta'ayusy (fikih koeksistensi) yang menekankan pentingnya hidup berdampingan secara damai dengan komunitas-komunitas agama lain. Beliau memahami bahwa syariah pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, tidak terbatas pada komunitas Muslim saja. Oleh karena itu, implementasi syariah harus mempertimbangkan realitas kemajemukan masyarakat dan tidak boleh memaksakan pandangan yang eksklusif (Amir, 2018).

KH. Idham Khalid juga menekankan dimensi etis dari syariah. Menurut beliau, syariah bukan sekadar hukum yang bersifat formal, tetapi lebih merupakan sistem etika yang komprehensif yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia. Syariah harus dipahami sebagai jalan menuju kebaikan (al-khair), keadilan (al-'adl), dan kesejahteraan (al-falah). Dalam hal ini, beliau menggarisbawahi pentingnya pemahaman terhadap nilai-nilai universal yang menjadi ruh dari syariah, seperti keadilan, persamaan, dan kebebasan (Hefner, 2011).

Dalam bidang ekonomi, KH. Idham Khalid memiliki pandangan yang progresif terhadap implementasi prinsip-prinsip syariah. Beliau mendukung pengembangan sistem ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai Islam, namun dengan penekanan pada aspek substansial seperti keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan, bukan semata-mata pada formalisme legal. Pemikiran ini kemudian menjadi cikal bakal perkembangan ekonomi syariah di Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip etis dalam aktivitas ekonomi, seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi) (Choiruzzad & Nugroho, 2013).

Sebagai seorang negarawan, KH. Idham Khalid memberikan kontribusi penting dalam merumuskan relasi yang harmonis antara Islam dan negara. Beliau tidak memperjuangkan pembentukan negara Islam dalam pengertian formal, tetapi lebih pada internalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pandangannya, negara Pancasila telah memberikan ruang yang cukup bagi umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya, termasuk dalam implementasi syariah (Bruinessen, 2013).

Warisan pemikiran KH. Idham Khalid tentang syariah tetap relevan hingga saat ini, terutama dalam konteks mengatasi polarisasi antara kelompok-kelompok yang memperjuangkan formalisasi syariah dan mereka yang mendukung sekularisasi total. Pendekatan moderat dan kontekstual beliau dalam memahami syariah menawarkan jalan tengah yang dapat diterima oleh berbagai kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini sejalan dengan prinsip wasathiyyah (moderasi) yang menjadi ciri khas Islam Indonesia (Hosen, 2016).

Dalam dunia yang semakin kompleks dan pluralistik, pemahaman terhadap konsep syariah perlu terus dikembangkan dengan mempertimbangkan konteks sosial-budaya dan tantangan zaman. Warisan pemikiran KH. Idham Khalid memberikan inspirasi bagi generasi saat ini untuk mengembangkan pendekatan yang lebih holistik dan kontekstual dalam memahami dan mengimplementasikan hukum Islam. Dengan demikian, syariah dapat menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia sebagaimana tujuan utama diturunkannya Islam, yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamin) (Wahid, 2007).

Memaknai kembali konsep hukum syariah dalam Islam sebagaimana diajarkan oleh KH. Idham Khalid berarti menghidupkan kembali semangat Islam yang inklusif, moderat, dan kontekstual yang telah menjadi karakter umat Islam Indonesia selama berabad-abad. Hal ini menjadi semakin penting di tengah maraknya gerakan-gerakan yang mempromosikan pemahaman yang sempit dan eksklusif terhadap syariah. Dengan mengenang dan meneladani pemikiran KH. Idham Khalid, kita diingatkan bahwa esensi syariah adalah menciptakan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau golongan.

Kyai Idham Khalid: Al-'Urf - Suatu Bias Implementasi Hukum Islam Di Indonesia

Dalam diskursus perkembangan hukum Islam di Indonesia, nama KH. Idham Khalid menempati posisi penting sebagai salah satu tokoh pemikir yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penafsiran dan implementasi syariah yang kontekstual. Salah satu konsep yang mendapatkan perhatian khusus dalam pemikiran beliau adalah konsep Al-'Urf (adat istiadat) sebagai pertimbangan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia. Bagi KH. Idham Khalid, Al-'Urf bukan sekadar elemen pelengkap dalam metodologi hukum Islam, melainkan komponen fundamental yang memengaruhi cara syariah dipahami dan diterapkan dalam konteks keIndonesiaan.

KH. Idham Khalid, yang memimpin Nahdlatul Ulama (NU) selama hampir tiga dekade (1956-1984), memiliki pandangan bahwa implementasi hukum Islam di Indonesia mengalami "bias" yang tidak terhindarkan akibat persinggungannya dengan beragam tradisi lokal. Namun, bias tersebut tidak dipandang sebagai distorsi yang negatif, melainkan sebagai bentuk adaptasi yang justru memperkaya perkembangan fiqih di Nusantara. Dalam berbagai forum, beliau sering menyatakan bahwa "Al-'Urf adalah cermin kearifan syariah dalam merespon keberagaman" (Thoha, 2008).

Menurut KH. Idham Khalid, salah satu kekuatan utama hukum Islam adalah fleksibilitasnya dalam berinteraksi dengan budaya lokal. Beliau mengutip kaidah fiqhiyyah "Al-'Adatu Muhakkamah" (adat kebiasaan dapat dijadikan hukum) sebagai basis teoritis untuk mengakomodasi tradisi-tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Dalam pandangannya, syariah tidak diturunkan dalam ruang hampa budaya, melainkan selalu berinteraksi dengan konteks sosial-budaya di mana ia diterapkan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap Al-'Urf menjadi prasyarat untuk implementasi hukum Islam yang efektif dan berkeadilan (Muzadi, 2010).

Dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman etnis, bahasa, dan tradisi, KH. Idham Khalid melihat Al-'Urf sebagai "jembatan dialogis" antara universalitas syariah dan partikularitas budaya lokal. Beliau menolak pendekatan "transplantasi hukum" yang mencoba menerapkan formulasi fiqih dari konteks Arab secara langsung ke Indonesia tanpa mempertimbangkan perbedaan sosio-kultural. Sebaliknya, beliau mendorong pengembangan "fiqih kontekstual" yang mempertimbangkan karakteristik khas masyarakat Indonesia (Feillard, 2011).

Salah satu contoh nyata dari pemikiran KH. Idham Khalid tentang Al-'Urf adalah pendekatannya terhadap adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia. Beliau berpendapat bahwa selama elemen-elemen inti dari perkawinan Islam (seperti ijab-qabul, mahar, dan saksi) terpenuhi, maka tradisi-tradisi lokal seperti seserahan, midodareni (di Jawa), atau bajapuik (di Minangkabau) dapat dipertahankan dan bahkan dipandang sebagai pengayaan terhadap institusi perkawinan Islam. Pandangan ini mencerminkan penghargaan terhadap kearifan lokal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariah (Abdullah, 2015).

KH. Idham Khalid juga memberikan perhatian khusus terhadap aspek ekonomi dalam implementasi syariah di Indonesia. Beliau mengakui bahwa praktik ekonomi tradisional di berbagai komunitas di Indonesia, seperti sistem paroan (bagi hasil) dalam pertanian atau arisan, memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam meskipun muncul dari tradisi lokal. Dalam hal ini, beliau menerapkan konsep "takhayyur" (seleksi dan pilihan) yang memungkinkan pengadopsian praktik-praktik adat yang sejalan dengan maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariah) ke dalam sistem ekonomi Islam (Choiruzzad, 2013).

Meskipun memberikan ruang yang luas bagi Al-'Urf, KH. Idham Khalid tetap menekankan pentingnya kriteria selektif dalam menerima tradisi lokal. Beliau membedakan antara "'urf sahih" (adat yang baik) dan "'urf fasid" (adat yang rusak). Hanya tradisi-tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang dapat diakomodasi dalam implementasi hukum Islam. Beliau menegaskan bahwa penggunaan Al-'Urf sebagai pertimbangan hukum bukan berarti melegitimasi semua praktik tradisional, tetapi justru merupakan upaya untuk memfilter tradisi-tradisi tersebut berdasarkan nilai-nilai Islam (Rahman, 2014).

Dalam diskursus tentang formalisasi syariah di Indonesia, KH. Idham Khalid mengambil posisi yang moderat. Beliau tidak mendukung formalisasi syariah secara total yang mengabaikan konteks keIndonesiaan, tetapi juga tidak menerima sekularisasi yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Sebaliknya, beliau mempromosikan pendekatan "substansialis" yang menekankan internalisasi nilai-nilai Islam dalam hukum nasional tanpa harus menggunakan simbol-simbol formal Islam. Pendekatan ini memungkinkan syariah untuk memengaruhi sistem hukum nasional melalui saluran-saluran konstitusional dan demokratis (Bruinessen, 2013).

Pemikiran KH. Idham Khalid tentang Al-'Urf juga tercermin dalam sikapnya terhadap pluralisme hukum di Indonesia. Beliau mengakui bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang majemuk, di mana hukum Islam, hukum adat, dan hukum modern (Barat) berinteraksi dan saling memengaruhi. Dalam konteks ini, beliau melihat Al-'Urf sebagai "ruang negosiasi" di mana berbagai tradisi hukum dapat berdialog dan mencari titik temu. Pendekatan ini sejalan dengan konsep "fiqh al-ta'ayush" (fikih koeksistensi) yang menekankan pentingnya hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang plural (Hosen, 2016).

Dalam bidang pendidikan hukum Islam, KH. Idham Khalid mendorong pengembangan kurikulum yang memperkenalkan mahasiswa pada keragaman 'urf di berbagai daerah di Indonesia. Beliau berpendapat bahwa para fuqaha (ahli hukum Islam) Indonesia harus memiliki pemahaman yang mendalam tidak hanya tentang teks-teks keagamaan, tetapi juga tentang realitas sosial-budaya masyarakat Indonesia. Hanya dengan pemahaman ganda ini, mereka dapat menghasilkan fatwa-fatwa yang relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat (Hefner, 2011).

Salah satu kontribusi penting KH. Idham Khalid adalah upayanya untuk mendekonstruksi dikotomi antara "Islam" dan "lokalitas" yang sering dipahami secara oposisional. Dalam pandangannya, Islam dan budaya lokal tidak selalu berada dalam hubungan yang antagonistik, tetapi juga dapat bersifat komplementer. Beliau memperkenalkan konsep "pribumisasi Islam" yang menekankan pentingnya mengakarkan ajaran Islam dalam konteks lokal tanpa kehilangan substansi ajarannya. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir-pemikir seperti Abdurrahman Wahid (Amir, 2018).

Pemikiran KH. Idham Khalid tentang Al-'Urf sebagai faktor pembias implementasi hukum Islam di Indonesia menunjukkan kesadaran beliau akan kompleksitas dan dinamika hubungan antara agama dan budaya. Beliau menolak baik puritanisme yang mengabaikan konteks lokal maupun relativisme yang mengabaikan nilai-nilai universal Islam. Sebaliknya, beliau mempromosikan pendekatan dialektis yang memungkinkan terjadinya dialog yang produktif antara universalitas Islam dan partikularitas budaya Indonesia (Azra, 2015).

Warisan pemikiran KH. Idham Khalid tentang Al-'Urf tetap relevan hingga saat ini, terutama dalam konteks mengatasi ketegangan antara globalisasi dan lokalisasi dalam perkembangan hukum Islam. Di satu sisi, globalisasi telah membawa standarisasi dan homogenisasi praktik-praktik keagamaan melalui media massa dan migrasi. Di sisi lain, terdapat kesadaran yang semakin kuat akan pentingnya identitas lokal dan kearifan tradisional. Dalam konteks ini, pendekatan KH. Idham Khalid yang menghargai Al-'Urf tanpa mengabaikan universalitas syariah menawarkan jalan tengah yang konstruktif (Sirry, 2017).

Dalam menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi, pemikiran KH. Idham Khalid tentang Al-'Urf juga memberikan kerangka konseptual untuk pengembangan "fiqh al-aqalliyyat" (fikih minoritas) yang relevan bagi komunitas Muslim yang hidup sebagai minoritas di negara-negara non-Muslim. Beliau menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan konteks sosial-politik dan budaya dalam merumuskan hukum-hukum yang mengatur kehidupan Muslim minoritas. Pendekatan ini mendorong fleksibilitas dan adaptabilitas dalam implementasi syariah tanpa mengompromikan prinsip-prinsip intinya (Nasution, 2019).

Sebagai penutup, pemikiran KH. Idham Khalid tentang Al-'Urf sebagai suatu bias implementasi hukum Islam di Indonesia mencerminkan kedalaman pemahaman beliau terhadap kompleksitas hubungan antara teks, konteks, dan realitas. Beliau tidak melihat bias tersebut sebagai penyimpangan yang perlu dihilangkan, melainkan sebagai cermin dari vitalitas dan dinamisme hukum Islam dalam merespon keberagaman. Dengan pendekatan yang inklusif dan kontekstual, beliau telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan "fiqh Indonesia" yang tidak hanya otentik secara keagamaan tetapi juga relevan secara kultural. Warisan pemikiran beliau terus menginspirasi generasi baru pemikir hukum Islam untuk mengembangkan pendekatan yang lebih holistik dan kontekstual dalam memahami dan mengimplementasikan syariah di Indonesia.

Daftar Pustaka. 1

Amir, Z. (2018). Islam dan Kebangsaan: Telaah Pemikiran KH. Idham Khalid. Jakarta: LP3ES.

Azra, A. (2015). Indonesian Islam in a World Context. Kyoto: Kyoto University Press.

Bruinessen, M. V. (2013). Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the "Conservative Turn". Singapore: ISEAS Publishing.

Choiruzzad, S. A., & Nugroho, B. E. (2013). Indonesia's Islamic Economy Project and the Islamic Scholars. Procedia Environmental Sciences, 17, 957-966.

Feillard, A. (2012). Islam et armée dans l'Indonésie contemporaine: Les pionniers de la tradition. Paris: L'Harmattan.

Hefner, R. W. (2011). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Hosen, N. (2016). Islam Moderat dan Keindonesiaan. Jurnal Studi Islam, 11(2), 247-264.

Nasution, H. (2019). Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan. Jakarta: Rajawali Pers.

Rahman, F. (2017). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Wahid, A. (2007). Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.

Daftar Pustaka. 2 

Abdullah, T. (2015). Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Amir, Z. (2018). Dinamika Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Azra, A. (2015). Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan.

Bruinessen, M. V. (2013). Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the "Conservative Turn". Singapore: ISEAS Publishing.

Choiruzzad, S. A. (2013). "The Central Position of Islam-State Relationship in the Formation of Indonesian Islamic Economic Movement." International Journal of Religious Literature and Heritage, 2(2), 127-142.

Feillard, A. (2011). NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yogyakarta: LKiS.

Hefner, R. W. (2011). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Hosen, N. (2016). "Pluralism, Fatwa and Court in Indonesia: The Case of Ahmadiyah." Journal of Indonesian Islam, 10(2), 301-324.

Muzadi, H. (2010). Strategi NU dalam Konteks Perubahan Sosial. Jakarta: NU Online Press.

Nasution, K. (2019). Pengantar Studi Islam di Indonesia. Yogyakarta: ACAdeMIA.

Rahman, F. (2014). Islamic Methodology in History. Islamabad: Islamic Research Institute.

Sirry, M. (2017). "The Public Expression of Traditional Islam: the Pesantren and Civil Society in Post-Suharto Indonesia." The Muslim World, 107(1), 159-171.

Thoha, Z. A. (2008). Mutiara Pemikiran KH. Idham Khalid. Jakarta: PBNU.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler